creativity

creativity
karya salah satu muridku :)

Sabtu, 26 Maret 2016

26: Semoga Mendapatkan Kemuliaan

Tanggal lahir Bapak yang tertera di KTP adalah 26, Bulan sekian, Tahun sekian. Selama bertahun-tahun, tanggal itu dijadikan identitas penanda lahir beliau. Baru beberapa tahun belakangan ini, Kami mengetahui kalau tanggal lahir dan bulan lahir yang ada di KTPnya salah. Maklum, jaman dulu, orang tua tidak peduli dengan tanggal lahir. Karena sudah terlanjur salah kaprah, identitas itu dibiarkan begitu saja. Hanya Kami, orang-orang terdekatnya, yang tahu tanggal asli dan tanggal kamuflase ulang tahunnya.

Ngomong-ngomong soal 26, tepat 26 tahun yang lalu, anak pertama Bapak lahir. Waktu itu, Bapak masih kuliah di Jakarta, sedangkan Ibuk tetap tinggal di Jepara. Tidak adanya alat komunikasi canggih seperti sekarang ini menyebabkan Bapak tidak langsung mengetahui kalau Ibuk sudah melahirkan. Salah satu kerabat dikirim ke Jakarta untuk mengabarkan hal itu. Bapak langsung pulang, begitu diberi kabar kalau Ibuk sudah melahirkan anak pertamanya.

“Semoga mendapatkan Keutamaan/Kemuliaan”, begitulah do’a Bapak yang disematkan kepada anak pertamanya.

Melalui nama, do’a itu dikumandangkan Bapak di pagi, siang, sore dan malam hari si anak pertama. Melalui nama, do’a itu digaungkan Bapak di tiap perjalanan hidup si anak pertama. Melalui nama, do’a itu dirapalkan Bapak di ujung malam dan di saat terbit fajar yang dilalui si anak pertama.

Saat ini, tanggal 26, di tahun ke-26, do’a itu masih berjalan.

Di akte kelahiran, di sebuah perkenalan, di sebaris daftar absen, di buku catatan, di kartu identitas, di lembar ijazah, di tiket kereta. Do’a itu masih mengalun saja.

Sudahkah anak pertama mewujudkannya? Mampukah mewujudkannya? Bagaimanakah cara mewujudkannya?

Ah....ternyata do’a itu masih dan sedang diterjemahkan pelan-pelan oleh anak pertama.

Do’a yang entah sampai kapan bisa diwujudkan. Do’a yang entah seperti apa perwujudannya. Do’a yang entah bagaimana mewujudkannya.

Di hari ke 26 di bulan ini, sembari masih meraba-raba bagaimana perwujudan do'a itu, si anak pertama turut merapalkan do’a, semoga do’a yang meskipun ditujukan kepada anak pertama, juga kembali kepada pemberi do’a.

“Semoga selalu mendapat Kemuliaan, Bapak....”






Surakarta, 26 Maret 2016



Kamis, 16 Juli 2015

Catatan Akhir Perjalanan Ramadhan 1436 H

Catatan ini saya buat di tengah ramainya puji-pujian mengenai kebesaran Allah. Speaker dari mushalla dan masjid di sekitar rumah sahut-sahutan melafadzkan takbir. Ya, malam ini-lebih tepatnya, dini hari ini adalah hari raya Idul Fitri 1436 H.
***

Tidak terasa Ramadhan telah berlalu. Rasanya baru kemarin, saya dijemput pulang oleh orang tua dari pondok di akhir bulan Sya'ban. Rasanya baru kemarin, saya terawih malam pertama Ramadhan di Musholla dekat rumah. Rasanya baru kemarin, saya sahur hari pertama puasa, dibangunin orang tua dan makan bareng mereka. Rasanya memang baru kemarin.
Tapi ternyata itu semua hanya perasaan saya. Nyatanya sudah satu bulan berjalan, dan saya masih merasa seperti baru kemarin.

Rutinitas. 
Mungkin itu yang menjadikan hari-hari saya berjalan begitu cepat, menjadikan satu bulan layaknya baru kemarin.
Menjadi pengangguran di rumah sendiri bukan berarti menjadikan saya makhluk bebas yang tanpa  rutinitas. Saya tetap punya kegiatan yang dikerjakan berulang-ulang. Dan rutinitas itu bernama membantu-ibu-jualan-di-pasar.
***

Ibu saya seorang pedagang di sebuah pasar tradisional di kecamatan. Dagangannya seputar peralatan dapur dan peralatan rumah tangga, perlengkapan baki lamaran, dan sebagainya.
Selama bulan puasa, saya ikut mbantu-mbantu jualan. Lumayan, selain bisa untuk mengisi waktu luang, juga bisa buat bahan jawaban kalau ditanya "lagi sibuk ngapain?"atau "sekarang kerja apa?".

Terkait dengan dua pertanyaan tersebut, saya sering dibuat keki, bila ada yang tanya tentang hal itu. 
Iya, untuk saat ini saya pengangguran. Saya sudah lulus dari sebuah universitas, yang artinya, saya sudah tidak memiliki predikat sebagai mahasiswa lagi. Saya juga tidak terlihat memiliki afiliasi dengan perusahaan apapun, atau jenis profesi apapun. Di Pondok, sebelum saya pulang ke rumah, kegiatan saya juga tidak bisa didefinisikan dengan kata "bekerja" tetapi "mengabdi". Jadi kata apa yang lebih tepat untuk menggambarkan status saya saat ini, kalau tidak pengangguran.

Sebenarnya, saya juga sudah tercatat sebagai mahasiswa di universitas lain. tapi apa boleh buat, kuliah perdana saya masih bulan Agustus. Sehingga sebelum saya syah mengikuti kuliah perdana di bulan Agustus, saya akan tetap memiliki predikat pengangguran.
Dan saya sangat tidak ada masalah dengan status saya saat ini. Toh sebenarnya saya memang memiliki aktivitas sehari-hari yang tidak bisa dijelaskan dengan satu kata saja. Setidaknya bagi saya, saya punya aktivitas dan rutinitas yang bermanfaat.

Yang menjadi masalah adalah, ekspekstasi orang lain yang bertanya kepada saya, perihal status saya. Ada semacam "tuntutan" jawaban sesuatu yang ideal menurutnya, yang harus ada dalam jawaban saya. Jika saya menjawab pengangguran, ada sorot "menyalahkan" dan "menuntut" untuk segera melepaskan predikat itu. Mungkin dipikirnya, saya makhluk yang sangat tidak berdayaguna.
Jika saya jawab apa yang sesungguhnya menjadi aktivitas keseharian saya, kok kesannya kayak presentasi ya?
Ribet. Ah, sudahlah...terserah mereka sajalah...

Kembali ke rutinitas yang saya jalani selama di rumah, karena ikut membantu Ibuk jualan di pasar, saya jadi tahu sedikit-banyak tentang bagaimana denyut nadi kehidupan orang-orang yang mencari rezeki dengan berjualan. Berangkat sekitar pukul 08.00 WIB dan pulang pukul 15.00 WIB, ada yang lebih pagi dan lebih sore lagi, tergantung kebutuhan mereka masing-masing.

Mereka itu termasuk pejuang nafkah yang tangguh lho. Bayangkan saja, jualan di pasar membutuhkan ketekunan, keuletan dan kesabaran tersendiri. Setiap pagi, barang dagangan dikeluarkan dari dalam kios dan ditata semenarik mungkin. Berbeda dengan pedagang di toko, yang cukup membuka pintu tokonya dan menata sedikit barang dagangannya, pedagang di pasar mengeluarkan hampir semua barang dagangannya, menata dagangan di depan dan disekeliling kios, agar calon pembeli, dapat melihat barang apa saja yang dijual di kios tersebut. Istilah penataan barang pada saat membuka kios adalah "dasar". Maka tidak heran jika dikenal istilah "buka dasar", untuk menggambarkan adanya pembeli yang melarisi pedagang, saat pedagang tersebut masih berbenah mendasarkan dagangannya. Dan jujur, prosesi dasar adalah hal yang sangat melelahkan. Padahal itu baru permulaan.:(

Keseruan mengamati dan (sedikit) menjalani kehidupan pasar, tidak berhenti pada saat dasar saja, justru aktivitas setelah dasar juga tidak kalah seru. Dalam kasus kios milik Ibuk saya, ramai-sepinya pelanggan merupakan pengalaman yang menggemaskan. Ada kalanya calon pembeli ramai-ramai berkunjung dan menawar berbagai barang yang kami dagangkan. Kalau sedang ramai-ramainya, bernafas saja rasanya sulit bukan main. Semua minta disegerakan. Semua minta dihitungkan belanjaannya. Belum lagi jika mereka semua menawar dengan harga di bawah harga kulakan. Sakitnya tuh di sini...

Tapi kondisi ramai adalah anugerah dari Tuhan yang harus di syukuri. Karena ada masa di mana pasar sangat sepi. Jangankan calon pembeli, ada orang lewat depan kios saja bersyukurnya bukan main. Dan kondisi yang paling menyesakkan dada adalah, jika kios Ibuk saya sepi, sedangkan kios sebelah ramai pengunjung. Masyaallah, itu benar-benar cobaan hidup yang sesungguhnya. Konsep "rezeki sudah ada yang mengatur" dan "setiap orang memiliki rezekinya masing-masing" benar-benar diuji pada saat momen itu. Pada saat mengalami masa-masa itu, kita benar-benar diuji kadar keikhlasan kita, ikhlas dengan rezeki kita, ikhlas dengan rezeki orang lain. Kalau mengalami fase ini, siap-siap mengelus dada dan perbanyak istighfar. :)

Nah, setelah pagi hari berjibaku dengan ritual dasar dan menjalani setengah hari bersinggungan dengan berbagai macam pembeli dan calon pembeli, saatnya pedagang pulang ketika matahari mulai tergelincir ke arah barat. Tapi pedagang di pasar tidak bisa langsung serta merta menutup kios dan pulang. Mereka harus melakukan ritual kukut. Kukut itu semacam kebalikan dari dasar. Jika dasar adalah menata barang dagangan ke luar kios, kukut adalah menata dan mengembalikan barang dagangan ke dalam kios. Ritual ini memiliki kadar kelelahan dua kali lipat dari dasar. Bagaimana tidak, tenaga pedagang sudah habis terkuras untuk dasar dan melayani pembeli, tapi masih juga harus angkut-angkut barang lagi dan menatanya ke posisi semula, seperti pada saat sebelum dasar.

Dan tahukah kamu, kegiatan dasar-jualan-kukut dilakukan setiap hari Senin-Selasa-Rabu-Kamis-Jumat-Sabtu-Minggu-Senin (lagi)-dst. Amazing yah....

Layaknya orang bisnis, para pedagang di pasar adalah kumpulan orang-orang yang tekun, ulet dan sabar dalam bekerja. Berbeda dengan orang kantoran, rezeki yang datang ke mereka sangat fluktuatif. Tidak pasti setiap harinya. Maka menjadi tidak heran jika mereka menjadi orang yang kreatif. Mereka butuh banyak strategi dalam menjalankan bisnisnya. Mulai dari penataan kios dan dasaran yang semenarik mungkin, pengadaan barang dagangan yang kira-kira cepat laku terjual, cara berjualan yang menarik pembeli, dan banyak lagi strategi lainnya yang digunakan pedagang pasar agar dagangannya laku dan dapat memutar modal perekonomian mereka. Begitulah.

Sudah ah, sekian dulu saja. Nanti pagi-pagi harus ke masjid untuk ikutan sholat Ied. Maaf lahir batin ya, Jangan lupa bayar zakat. Salam.









Jepara, 16 Juli 2015

Rabu, 01 Juli 2015

Catatan Separuh Perjalanan Ramadhan 1436 H

Kali ini saya mengawali bulan Ramadhan dan insyaallah juga akan menghabiskan 30 hari ke depan di rumah--Jepara. Hal yang sudah lama tidak saya jalani hampir sepuluh tahun. Enam tahun pertama masa perantauan, saya ber-Ramadhan di Jogja, tahun ketujuh terdampar di Bekasi, tahun kedelapan kesasar di Karimunjawa, dan dua tahun terakhir kemarin balik lagi ke Jogja.
Ada banyak pertimbangan ketika akhirnya saya memilih untuk menghabiskan Ramadhan kali ini di rumah. Rasa kangen dan kenangan masa kecil tentang indahnya Ramadhan di rumah menjadi salah satu alasannya. Dan saya ingin kembali merasakannya. 
Dulu, seingat saya, Ramadhan identik dengan ngaji posonan, jalan-jalan pagi, ngabuburit di sawah atau kali dan berisiknya tong-tek sahur. 
Setiap Ramadhan, saya ngaji posonan di madrasah dekat rumah. Mungkin dulu alasannya simple, karena teman-teman madrasah dan teman kampung juga ikutan, kan seru kalau rame-rame. Ada banyak pilihan kitab yang dikaji. Biasanya seputar fiqh, hadis, akhlaq dan tauhid. Pilihan jadwal ngajinya pun beragam, mulai dari bakdha Subuh, Bakdha Ashar atau menjelang berbuka, hingga Bakdha Tarawih. Pesertanya? Dari berbagai kalangan dan berbagai umur. Kitab yang paling laris dipilih selama posonan, tak lain dan tak bukan adalah kitab Qurrotul Uyun, yang sampai saat ini, saya belum pernah mengajinya. :(
Selain ngaji, jalan-jalan pagi juga menjadi kegiatan rutin selama Ramadhan. Jadwal masuk sekolah selama bulan puasa biasanya dimundurin agak siang. Daripada bingung di rumah, biasanya saya dan saudara atau tetangga jalan-jalan pagi sampai pasar atau belakang terminal. Tapi kalau jalan-jalan pagi kayaknya agak gak rutin. Karena, yah...biasanya sehabis subuh juga kembali tidur...
Nah, baru sore harinya, saya rutin ngabuburit menunggu buka puasa. Rumah saya tidak terlalu jauh dari sawah, mungkin 1 Km-an lah. Kalau rame-rame bareng saudara, biasanya naik sepeda. Tapi kalau sendirian, saya naik sepeda motor. Daripada di rumah sebel sendiri menunggu muadzin yang tidak kunjung adzan, saya memilih melihat hijaunya sawah atau derasnya kali Bongpes.
Dan yang paling seru di bulan Ramadhan adalah mendengar tong-tek sebelum sahur. Banyak sekali anak-anak muda dari berbagai komunitas RT atau Musholla yang punya tenaga lebih dan waktu yang selo untuk bergerilya malam-malam setiap hari selama bulan Ramadhan. Terkadang saya salut sama mereka, pahalanya banyak--mbangunin orang sahur plus juga memberi hiburan gratis di tengah malam buta. Apalagi kualitas tong-tek selalu meningkat dari tahun ke tahun. Dulu awalnya cuma menggunakan kayu/bambu sebagai instrumennya. Lalu meningkat ada yang menggunakan gitar dan harmonika. Terakhir yang saya tahu, ada yang menggunakan organ dan drum. Luar biasaaa. Belum lagi kualitas musikalitas yang mereka bawakan. Tidak cuma tong-tek-tong-tek, mereka sudah mahir membawakan berbagai jenis lagu, mulai dari dangdut sampai pop. Sayangnya belum ada contact person yang bisa dihubungi, kalau ada kan saya bisa request lagu...Tapi terkadang mereka juga bikin sebel. Pertama, karena mereka memulai penampilannya jam 1 malam. Siapa coba yang mau sahur jam segitu? Kedua, kadang nge-time/ ngedon di depan rumah lamaaa banget, sampai bikin orang susah tidur.

Apakah Ramadhan kali ini saya masih merasakan indahnya Ramadhan seperti beberapa tahun silam?

Ramadhan tetaplah dan akan selalu indah. Tapi tentu adalah hal yang sangat naif jika saya mengharapkan suasana Ramadhan sekarang sama dengan suasana Ramadhan sepuluh tahun yang lalu. Desa saya sudah banyak berubah. Suasana Madrasah juga sudah banyak berubah. Dan yang lebih penting, saya juga sudah berubah. Saya bukan lagi remaja SMP seperti sepuluh tahun yang lalu. 
Oh waktu, ternyata kau cepat sekali berlalu......



Senin, 27 April 2015

Wonderful Saturday (Part 1: Senam)

Hari ini sepertinya hari Sabtu yang tersibuk dibandingkan hari Sabtu saya sebelum-sebelumnya. Meskipun begitu saya tetap semangat dan ceria selama menjalani agenda saya :)
Ceritanya, saya dan lima teman saya mau ikut senam sehat yang diadakan KPK: SPAK (Saya Perempuan Anti Korupsi) di lapangan Amongrogo Yogyakarta. Makanya, kami berenam sudah ribut persiapan dari pagi.
Sambil manasin motor dan menunggu teman yang masih siap-siap, saya ngobrol-ngobrol di depan gerbang pondok.
Sedang enak-enaknya ngobrol, dari kejauhan saya melihat Bu Nyai berjalan ke arah kami. Aduh reeek....gimana ini? Mau salim tangan, tapi tadi pagi mbolos ngaji di mushalla. Mau kabur, tapi kok kepalang basah. Akhirnya ya sudahlah...saya turun dari motor, salim dan nyium tangan Bu Nyai.

"Arep neng ndi La? Senam tah...", tanya Bu Nyai.

"Nggih...", jawab saya sambil ketawa malu ga jelas.

"Iku lho sandal-sandal disingkerke, ngono iku yo wes senam, sehat...", ujar Bu Nyai sambil menunjuk sandal-sandal tak berpasangan yang bertebaran dan berserakan dimana-mana.

"Nggih...", jawab saya lagi.

Sambil masih ketawa malu ga jelas, akhirnya saya dan teman-teman membereskan sandal dulu.
Kami mengambil kresek dan memasukkan sandal-sandal itu ke dalamnya. Hup..hup...hup... Cukup banyak ternyata. Ada tiga kresek berisi sandal yang dapat kami kumpulkan. Agar menyatu dan tidak tercerai berai lagi, kami masukkan kresek itu ke kardus. Seeet...sudah selesai. Lumayan lah buat pemanasan senam.
Melihat sudah lumayan beres, kami akhirnya berangkat menuju lapangan.

kumpulan sandal-sandal yang kami satukan

Sesampainya di TKP, kami menuju ke meja penerima tamu untuk mendaftar ulang.
Berhubung diantara kami ada yang sudah mendaftar ada yang belum, maka kami yang belum mendaftar tidak mendapat bingkisan fasilitas berupa kaos, tas, pin, booklet, snack dan air minum. Sedihnyaaa...
Walhasil kami masuk dengan tangan setengah kosong.

Untungnya, pas sedang nyari posisi senam yang strategis, kami ditanya seorang ibu, "lho kaosnya mana? Kok ga dipakai?"

"Ga dapat bu, soalnya kemaren daftar tapi kuotanya penuh", jawab sebagian dari kami.

"Ya sudah, sini ikut saya...", ajak ibunya sambil jalan ke arah panitia.

Teman saya yang belum mendapat kaos dll. itu pun membuntuti ibu tadi.

Dan tidak berselang lama, teman saya sudah kembali dan menenteng tas berisi kaos dll. Alhamdulillah... Senangnyaaaa....

Kemudian kami mencari posisi senam yang strategis. Karena yang datang baru sekitar lima puluh orang, kami mendapat tempat lumayan depan.

"Teng...treng...teng...treng...."

Terdengar suara musik ala senam. Pertanda senam akan segera dimulai.

"Satu...dua...tiga..yaaak..."

Akhirnya senam pun dimulai.

Mbak instruktur senam sudah naik ke panggung dan memberi aba-aba. Kami melakukan gerakan pemanasan dulu agar tidak kaget otot-ototnya.


https://twitter.com/alissawahid

"Treng...teng...treng...teeeng....."

Diiringi lagu dangdut remix ala senam, kami mengikuti gerakan yang dicontohkan mbak instruktur.
Barisan senam kami teratur dan kompak. Hampir semua dari kami langsung bisa mengikuti gerakan aerobik tersebut. Sehat, bugar dan bahagia nampak tercermin dari gerakan-gerakan kami. Kontras sekali dengan langit yang mendung di atas kami. Kanan-kiri. Gerakan senam kami seperti menari. Sampai tidak terasa kalau gerakan senam sudah sampai pada tahap pendinginan.

Setelah senam selesai, kami istirahat sejenak dan duduk-duduk bebas di lapangan. Sambil menunggu persiapan orasi budaya, kami nyemil snack yang disediakan oleh panitia. Isi snacknya adalah arem-arem dan kacang godhog! "Waaaaah....keren...", puji saya dalam hati. Ini namanya pro swasembada pangan nih. Tidak hanya mengajarkan anti Korupsi, tapi juga menanamkan cinta produk lokal dan budaya merakyat. Salut untuk panitia yang mempersiapkan segala hal dengan detail dan baik :)


selfie bareng sambil istirahat nunggu orasi budaya
Orasi budaya dibuka oleh Bu Alim sebagai ketua panitia. Usut punya usut, bu Alim adalah ibu-ibu yang tadi membantu teman-teman saya mendapatkan fasilitas kaos dll. Terimakasih bu Alim. Anda baik sekali...:)

Selain bu Alim, ada beberapa nama yang juga mengisi orasi budaya. Semuanya saya lupa, kecuali mbak Alissa Wahid. Hihihi, maklum, short term memory...

Dalam pidatonya, mbak Alissa mengajak kami -perempuan Indonesia- untuk aktif melawan korupsi. Kenapa perempuan? karena perempuan adalah bagian dari warga negara Indonesia. Jumlah perempuan di Indonesia adalah setengah lebih sedikit dari jumlah total penduduk Indonesia. Kami punya kewajiban dan hak yang sama untuk turut andil dalam memberantas korupsi. Jika kami semua berperan aktif sebagai agen anti korupsi, kami dapat menciptakan Indonesia bebas dari korupsi, minimal 50%.

Simbah putri dan cucunya ikut menyimak orasi budaya dari mbak Alissa Wahid

Lebih lanjut, Mbak Alissa bercerita mengenai jahatnya korupsi. Akses pendidikan dan kesehatan yang mahal dan tidak dinikmati oleh semua orang, harga-harga kebutuhan pokok yang semakin meningkat, fasilitas publik yang jelek, jalan berlubang yang tidak diperbaiki, dan masih banyak lagi penderitaan yang dialami oleh kita sebagai warga negara, adalah akibat dari merajalelanya korupsi. Dilain pihak, dana yang seharusnya digunakan untuk memperbaiki gedung sekolah yang roboh, biaya rumah sakit bagi warga negara, dan fasilitas umum bagi seluruh masyarakat Indonesia malah dikorupsi untuk membeli mobil mewah, rumah mentereng dan aset pribadi oleh pejabat yang katanya terhormat. Sungguh kejam sekali akibat dan dampak dari korupsi.

Untuk itulah, kita sebagai perempuan Indonesia harus bisa menjadi agen anti korupsi!

Selain sebagai agen anti korupsi, mbak Alissa juga memberi semangat dan dorongan kepada kami, perempuan Indonesia, untuk bisa berdaya dan memberdayakan masyarakat serta lingkungan sekitarnya. Sebagai seorang psikolog, khususnya psikolog keluarga, mbak Alissa menjelaskan secara umum jika perempuan bisa mapan atau sejahtera secara finansial maka keluarganya juga akan sejahtera. Karena perempuan secara psikologis akan memperhatikan dan mengusahakan kesejahteraan anggota keluarganya. Berbeda dengan laki-laki, jika laki-laki kuat secara finansial, mereka akan mengalokasikan hartanya untuk kepentingan dan kebutuhannya sendiri (itu menurut ilmu psikologi lho....). Jadi, kebayang kan kalau seandainya ibu-ibu kita, teman-teman perempuan kita bisa kuat secara finansial, maka keluarganya akan hidup dengan kesejahteraan.

Sebenarnya masih banyak penjelasan yang menarik dari mbak Alissa. Tapi berhubung saya bingung bagaimana menulisnya, jadi hanya itu saja dulu, hihihihihi.

Kesampaian juga foto bareng dengan mbak Alissa Wahid

Selesai orasi budaya, kami disuguhi hiburan orkes, cek kesehatan gratis dan berbagai permainan yang menarik.

Saya dan teman-teman memilih untuk menuju ke kain putih panjang yang digelar di lapangan sebagai bukti agen SPAK dengan cara cap tangan anti korupsi. Saya mencelupkan tangan saya ke dalam cat dan hup, telapak tangan saya berada di atas kain putih. Saya Perempuan Anti Korupsi!

saya dan cap tangan saya, abaikan sandal jepit saya

Hari semakin siang, saya dan teman-teman memutuskan untuk balik ke pondok. Kami berenam menuju tempat parkir dan mengambil motor masing-masing. Saatnya pulang.

Sampai di pondok, setelah sebelumnya mampir dulu di pasar Prawirotaman untuk membeli buah-buahan, saya istirahat sebentar. Karena nanti sore jam 15.00 WIB, saya mempunyai agenda diskusi di PKKH UGM. Selamat siang, selamat istirahat :)


Krapyak, 25 April 2015


Jumat, 24 April 2015

Nariyyah, Bu Nyai, dan Pengalaman Organisasi

Ritual malam jum'at kami kemarin agak berbeda dari malam jum'at sebelum-sebelumnya. Agenda pembacaan maulid dziba'i atau terkadang diganti maulid barzanji yang rutin dibaca tiap malam Jum'at diganti pembacaan shalawat nariyyah yang dipimpin langsung oleh Bu Nyai.

Mushalla yang biasanya ga penuh-penuh amat, kadang malah sepi, malam itu penuh sesak sampai saling ndesel. Tumplek-bleg santri R1 dan R2. Berhubung jamaahnya buanyaaak, setiap orang dari kami kejatahan mbaca nariyyah 44 kali, yang biasanya 100 kali.

Begitu majelis dibuka Bu Nyai dengan Al-Fatihah, semua dari kami sibuk dengan bacaan masing-masing. Ada yang sudah hafal di luar kepala dan merapalkan bacaan layaknya merapalkan mantra. Ada yang masih pegang kertas meskipun bacaannya juga super cepat. Ada yang masih tertatih mbaca nariyyah sambil melihat kertas. Tapi semua khusyuk dengan bacaan dan hitungannya sendiri. Tidak sampai setengah jam kami semua telah selesai membaca shalawat nariyyah yang ditutup dengan do'a dari Bu Nyai.

Begitu selesai, salah satu pengurus mengumumkan kalau malam itu ada rapat agenda tahunan pondok dan pembacaan LPJ pengurus Komplek R2. Dengan sendirinya santri Komplek R1 kembali ke kamar masing-masing, meninggalkan saudaranya, santri Komplek R2 yang masih mempunyai agenda lanjutan.

Saya tidak akan cerita tentang rapat dan jalannya diskusi plus sanggahan, karena cerita kali ini adalah mengenai Bu Nyai.

*****
Singkat cerita, Bu Nyai sebagai pengasuh Komplek R2, memberikan sambutannya dalam pembukaan rapat agenda tahunan Komplek R2. Sebagai starting point, Bu Nyai menyindir kami dengan bertanya kenapa kok malam ini mushalla penuh, padahal kalau jama'ah hanya ada satu, dua, tiga. Memang jama'ah di mana? Madinah? (yaaah...jadi malu...)

Disiplin kami di pondok dipertanyakan. Padahal pondok mempunyai tradisi baik, yaitu bangun pagi sebelum subuh dan shalat jama'ah di setiap waktu shalat. Tapi kok kami...(maafkan anakmu ini bu...bandel dan malasnya keterlaluan..)

Memang unik dan menarik kalau melihat gaya bicara Bu Nyai, tidak marah-marah, terkadang lucu, tapi mengena.

bu nyai
Bu Nyai dalam sambutan rapat tahunan tadi malam. Abaikan kualitas foto yang kurang :)
Malam itu, karena didaulat untuk mengisi sambutan rapat tahunan dan LPJ, Bu Nyai banyak bercerita mengenai organisasi.

Beliau bercerita, pertama kali aktif berkecimpung di organisasi ketika berada di level sekolah menengah pertama. Kala itu beliau bergabung di IPPNU Komisariat. Berlanjut di level sekolah menengah atas, beliau aktif di OSIS. Organisasi seperti Muslimat NU, PKB, dan P3M adalah sebagian dari banyaknya organisasi yang pernah digeluti beliau. Sampai kemudian, banyaknya pengalaman organisasi mengantarkan beliau menjadi anggota DPRD Bantul selama dua periode.

Dalam konteks pengalaman berorganisasi, beliau berpesan kepada kami semua, bahwa organisasi merupakan tempat belajar. Belajar berinteraksi, belajar menyatakan pendapat, dan belajar bermasyarakat. Kalau kita terbiasa berorganisasi, kita akan menjadi orang yang lincah, cekatan dan dapat diandalkan dimana pun berada. Beliau menyebutnya siap pakai. Jadilah orang yang siap pakai. Dimana pun berada, bisa memberi manfaat. Tidak gagap dengan lingkungan dan luwes terhadap masyarakat. jangan sampai menjadi orang yang ketika terjun ke tengah masyarakat masih bingung dan tidak tahu harus berbuat apa.

Sambutan dari Bu Nyai ditutup dengan cerita-cerita lucu nan romantis dari beliau sebagai seorang istri dan ibu. Segar dan inspiratif...


Perpustakaan UGM, 24 April 2015