Tanggal lahir Bapak yang tertera di KTP adalah 26, Bulan sekian,
Tahun sekian. Selama bertahun-tahun, tanggal itu dijadikan identitas penanda
lahir beliau. Baru beberapa tahun belakangan ini, Kami mengetahui kalau tanggal
lahir dan bulan lahir yang ada di KTPnya salah. Maklum, jaman dulu, orang tua
tidak peduli dengan tanggal lahir. Karena sudah terlanjur salah kaprah,
identitas itu dibiarkan begitu saja. Hanya Kami, orang-orang terdekatnya, yang
tahu tanggal asli dan tanggal kamuflase ulang tahunnya.
Ngomong-ngomong soal 26, tepat 26 tahun yang lalu, anak pertama Bapak lahir. Waktu itu, Bapak masih kuliah di Jakarta, sedangkan Ibuk tetap tinggal di Jepara. Tidak adanya alat komunikasi canggih seperti sekarang ini menyebabkan Bapak tidak langsung mengetahui kalau Ibuk sudah melahirkan. Salah satu kerabat dikirim ke Jakarta untuk mengabarkan hal itu. Bapak langsung pulang, begitu diberi kabar kalau Ibuk sudah melahirkan anak pertamanya.
“Semoga mendapatkan Keutamaan/Kemuliaan”, begitulah do’a Bapak yang disematkan kepada anak pertamanya.
Melalui nama, do’a itu dikumandangkan Bapak di pagi, siang, sore dan malam hari si anak pertama. Melalui nama, do’a itu digaungkan Bapak di tiap perjalanan hidup si anak pertama. Melalui nama, do’a itu dirapalkan Bapak di ujung malam dan di saat terbit fajar yang dilalui si anak pertama.
Saat ini, tanggal 26, di tahun ke-26, do’a itu masih berjalan.
Di akte kelahiran, di sebuah perkenalan, di sebaris daftar absen, di buku catatan, di kartu identitas, di lembar ijazah, di tiket kereta. Do’a itu masih mengalun saja.
Sudahkah anak pertama mewujudkannya? Mampukah mewujudkannya? Bagaimanakah cara mewujudkannya?
Ah....ternyata do’a itu masih dan sedang diterjemahkan pelan-pelan oleh anak pertama.
Do’a yang entah sampai kapan bisa diwujudkan. Do’a yang entah seperti apa perwujudannya. Do’a yang entah bagaimana mewujudkannya.
Di hari ke 26 di bulan ini, sembari masih meraba-raba bagaimana perwujudan do'a itu, si anak pertama turut merapalkan do’a, semoga do’a yang meskipun ditujukan kepada anak pertama, juga kembali kepada pemberi do’a.
“Semoga selalu mendapat Kemuliaan, Bapak....”
Ngomong-ngomong soal 26, tepat 26 tahun yang lalu, anak pertama Bapak lahir. Waktu itu, Bapak masih kuliah di Jakarta, sedangkan Ibuk tetap tinggal di Jepara. Tidak adanya alat komunikasi canggih seperti sekarang ini menyebabkan Bapak tidak langsung mengetahui kalau Ibuk sudah melahirkan. Salah satu kerabat dikirim ke Jakarta untuk mengabarkan hal itu. Bapak langsung pulang, begitu diberi kabar kalau Ibuk sudah melahirkan anak pertamanya.
“Semoga mendapatkan Keutamaan/Kemuliaan”, begitulah do’a Bapak yang disematkan kepada anak pertamanya.
Melalui nama, do’a itu dikumandangkan Bapak di pagi, siang, sore dan malam hari si anak pertama. Melalui nama, do’a itu digaungkan Bapak di tiap perjalanan hidup si anak pertama. Melalui nama, do’a itu dirapalkan Bapak di ujung malam dan di saat terbit fajar yang dilalui si anak pertama.
Saat ini, tanggal 26, di tahun ke-26, do’a itu masih berjalan.
Di akte kelahiran, di sebuah perkenalan, di sebaris daftar absen, di buku catatan, di kartu identitas, di lembar ijazah, di tiket kereta. Do’a itu masih mengalun saja.
Sudahkah anak pertama mewujudkannya? Mampukah mewujudkannya? Bagaimanakah cara mewujudkannya?
Ah....ternyata do’a itu masih dan sedang diterjemahkan pelan-pelan oleh anak pertama.
Do’a yang entah sampai kapan bisa diwujudkan. Do’a yang entah seperti apa perwujudannya. Do’a yang entah bagaimana mewujudkannya.
Di hari ke 26 di bulan ini, sembari masih meraba-raba bagaimana perwujudan do'a itu, si anak pertama turut merapalkan do’a, semoga do’a yang meskipun ditujukan kepada anak pertama, juga kembali kepada pemberi do’a.
“Semoga selalu mendapat Kemuliaan, Bapak....”
Surakarta, 26 Maret 2016